Kausalitas.com - Halo teman-teman, di artikel kali ini kita akan membahas mengenai hukum hak tawan karang di Bali.
Pengertian Hak Tawan Karang
Hak Tawan Karang adalah hak yang dimiliki oleh raja-raja yang ada di Bali untuk menahan kapal asing yang terdampar di garis pantai kerajaannya. Raja tersebut berhak memiliki kapal beserta semua benda yang ada di dalam kapal yang terdampar tersebut.
Hukum berlaku baik untuk perahu tak bertuan yang terbawa arus dan terdampar ke pesisir pantai hingga kapal yang tidak bisa dikendalikan sehingga karam dan terdampar di pantai kerjaan tersebut. Benda-benda yang ada di kapal tersebut otomatis menjadi milik kerajaan tempat kapal tersebut terdampar.
Sejarah
Pada zaman Bali kuno atau sekitar pada abad ke-9 di Bali terdapat banyak kerajaan yang berdiri. Raja-raja di kerjaan tersebut memiliki sebuah kesepakatan hukum adat yang bernama hak tawan karang tadi. Hukum ini berisi setiap kapal asing yang terdampar di perairan atau pantai wilayah kerajaan tersebut maka raja di daerah tersebut berhak merampas kapal beserta isinya.
Namun ketika Belanda datang ke Bali, mereka menyuarakan ketidaksetujuannya dengan hukum hak tawan karang ini. Karena menurut pihak Belanda, dengan adanya tawan karang ini akan menyebabkan keselamatan kapal dan barang-barang milik Belanda menjadi tidak aman.
Oleh karena itu pihak Belanda kemudian meminta untuk menghapus hukum tawan karang ini. Pada tahun 1839 perjanjian mengenai penghapusan hak tawan karang ditandatangani oleh beberapa kerajaan Bali yang diantaranya:
- Kerajaan Badung pada 28 November 1842
- Kerajaan Karangasem pada 1 Mei 1843
- Kerajaan Klungkung pada 24 Mei 1843
- Kerajaan Tabanan pada 22 Juni 1843
Sebagai gantinya, Belanda akan membayar sejumlah uang atau upeti untuk setiap kapal yang terdampar di pesisir pantai Bali. Setelah setahun sejak penghapusan tawan karang, terjadi perampasan kapal Belanda oleh masyarakat Buleleng. Hal inilah yang menyebabkan Belanda melakukan penyerangan ke Bali sehingga timbul perang Bali I pada tahun 1846, perang Bali II tahun 1848 dan perang Bali III tahun 1849.
Setelah perang Bali III tahun 1849, penghapusan hak tawan karang kembali dilakukan dan kali ini beberapa kerajaan lain ikut menandatangani perjanjian tersebut. Kerajaan itu antara lain:
- Kerajaan Bangli, 25 Juni 1849
- Kerajaan Jembrana, 30 Juni 1849
- Kerajaan Gianyar, 13 Juli 1849
Pada tahun 1904 sebuah kapal berbendera Belanda milik saudagar Cina bernama Kwee Tek Tjiang terdampar di pantai Sanur. Karena terdampar maka mereka melakukan bongkar muatan di pantai Sanur agar barang-barang bisa diselamatkan. Sang nakhoda kapal minta bantuan kepada masyarakat Sanur agar barang-barang mereka aman dan terjaga dengan baik.
Namun Kwee Tek Tjiang membuat laporan palsu dimana ia melaporkan bahwa uang sebesar 700 ringgit uang perak, serta 2300 uang kepeng telah dicuri oleh seseorang. Dia datang untuk meminta tebusan kepada Raja Badung namun raja Badung menolak untuk membayar karena ia tahu itu semua hanya akal-akalan Kwee Tek Tjiang saja.
Akibatnya Kwee Tek Tjiang melaporkan kejadian tersebut pada pihak Belanda sehingga terjadi Perang Puputan. Puputan diambil dari kata ‘puput’ yang artinya berakhir. Ini selaras dengan makna dari perang puputan itu sendiri dimana Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung beserta pasukannya berperang hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata menyerah, meski harus gugur dalam pertempuran asalkan tetap membela tanah air. Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung pun gugur dalam perang tersebut.
Prasasti-prasasti
Terdapat 2 prasasti yang membahas mengenai Hak Tawan Karang yaitu:
Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M)
"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"
Terjemahan:
"jika ada pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya.Jika pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain harus dibagi dua. Jika perahunya rusak/pecah agar dijadikan pagar benteng"
Prasasti Sembiran (923 M)
"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu aku, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"
Terjemahan:
"dan bila ada peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta diketahui oleh penduduk desa, supaya dijadikan wrddhi (semacam persembahan), setelah diberitahukan kepadaku, supaya dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"
Itu tadi materi mengenai Hak Tawan Karang yang ada di Bali, semoga bermanfaat dan menambah wawasan. Terima kasih sudah membaca!